Nama : Sri Sultan Hamengku Buwono X
Nama Asli: Bandoro Raden Mas (BRM) Herdjuno Darpito
Lahir : Yogyakarta, 2 Maret 1946
Agama : Islam
Ayah : Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Istri : Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas
Anak:
1. Gusti Raden Ajeng (GRAJ) Nurmalita Sari
2. Gusti Raden Ayu (GRAy) Nurma Gupita
3. Gusti Raden Ajeng (GRAJ) Nurkamnari Dewi
4. Gusti Raden Ajeng (GRAJ) Nurabra Juwita
5. Gusti Raden Ajeng (GRAJ) Nur Astuti Wijareni
Pendidikan:
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Pekerjaan:
- Anggota MPR sejak Tahun 1992
- Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak 3 Oktober 1998 – Sekarang
- Sri Sultan Hamengku Buwono X, dinobatkan 7 Maret 1989
Karya Ilmiah:
- Kerangka Konsepsi Politik Indonesia (1989)
- Bercermin Di Kalbu Rakyat (1999)
a raja yang dikenal dekat dengan rakyatnya. Menurutnya, keberpihakan
pada rakyat itu harus dilakukan sebagai suatu panggilan. Raja yang
demokrat ini berperan penting dalam bergulirnya reformasi dengan
deklarasi Ciganjur bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais. Namun, ia
kini gelisah melihat petinggi negeri ini yang tidak bersikap kesatria
mau mengakui kesalahan jika memang bersalah. Priyai agung yang merakyat
ini menjadi salah seorang kandidat Presiden pada Pemilu 2004.
Lahir dengan nama Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito pada tanggal 2 April
1946. Setelah dewasa bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH)
Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA
Hamengku Negara Sudibyo Raja Putra Nalendra Mataram. Lulusan Fakultas
Hukum UGM ini dinobatkan sebagai raja di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tanggal 7
Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) mengantikan ayahnya, Sri Sultan
HB IX yang meninggal di Amerika, Oktober 1988. Kemudian menjabat
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak 3 Oktober 1998.
Aktif dalam berbagai organisasi yaitu ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD
Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT Punokawan yang bergerak dalam
bidang jasa konstruksi, Presiden Komisaris PG Madukismo, dan pada bulan
Juli 1996 diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur DIY.
Jika singgah di Jogjakarta, barangkali akan mengunjungi Malioboro, yang
menyuguhkan hidangan khas daerah itu. Namun, persinggahan akan terasa
belum pas jika tidak melangkahkan kaki ke Keraton Jogjakarta, kurang
lebih lima ratus meter ke arah selatan Malioboro. Sekilas, Keraton
Jogjakarta memang tampak “angker”. Betapa tidak! Di pelatarannya
terdapat dua beringin nan rimbun berpargar (ringin kurung). Sedangkan di
pelataran belakang, juga tampak dua beringin yang menjulang tinggi.
Konon, beringin itu menjadi “simbol” kebesaran Keraton.
Keraton Jogjakarta memang menyimpan beragam kebesaran sejarah. Di masa
kolonial, Keraton pernah menjadi benteng pertahanan dari penjajahan
Belanda. Pada masa revolusi, keraton juga menjadi “Istana Presiden”,
tatkala Jogjakarta sempat menjadi ibu kota Republik Indonesia. Bahkan,
ketika maraknya demontrasi mahasiswa menyerukan Presiden Seoharto
lengser keprabon, keraton kembali menjadi ajang bagi mahasiswa dan
masyarakat Jogja untuk menggelar pisowanan ageng (“apel akbar”)
mendukung gerakan reformasi guna memperkuat kepemimpinan nasional yang
sungguh-sungguh memihak rakyat.
Kini, di balik kebesaran keraton itu, terdapat tokoh sentral yang
menjadi “decesion maker”-nya: Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ia lahir dan
dibesarkan di lingkungan keluraga yang sarat keberpihakannya kepada
rakyat. Bahkan di kalangan masyarakat Jogja, tokoh ini pun dipuja
sekaligus “disembah”.
Sejak menggantikan ayahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang meninggal
di Amerika, 8 Oktober 1988, Ngersa Dalem, demikian ia biasa disapa,
dikenal sebagai sosok yang dekat dengan rakyatnya.
Dalam suatu kesempatan, ia pernah mengatakan, keberpihakan pada rakyat
itu tetap harus dilakukan sebagai suatu panggilan. “Saya harus membentuk
jati diri untuk tumbuh dan mengembangkan wawasan untuk keberpihakan itu
sendiri sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. Selain itu,
masyarakat juga agar mengetahui setiap gerak langkah saya dalam
membentuk jati diri, dan rakyat diberi kesempatan untuk melihat bener
atau tidak, mampu atau tidak, sependapat atau tidak, dan sebagainya”,
ujuarnya.
Keberpihakannya pada rakyat ini memang terbukti. Pada 14 Mei 1998,
ketika gelombang demontrasi mahasiswa semakin membesar, Sultan
mengatakan, “Saya siap turun ke jalan”. Ia benar-benar tampil dan
berpidato di berbagai tempat menyuarakan pembelaan pada rakyat, sambil
berpesan “Jogja harus menjadi pelopor gerakan reformasi secara damai,
tanpa kekerasan”.
Aksi turun ke jalan yang dilakukan Sri Sultan HB X itu bukan tanpa
alasan. “Jika pemimpin tidak benar, kewajiban saya untuk mengingatkan.
Karena memang kebangetan (keterlaluan), ya tak pasani sesasi tenan (ya
saya puasai sebulan penuh)”, katanya.
Puasa itu dimulai 19 April dan berakhir 19 Mei 1998 saat Sri Sultan HB X
dan Sri Paku Alam VIII tampil bersama menyuarakan “Maklumat
Yogyakarta”, yang mendukung gerakan reformasi total dan damai. Itu yang
dia sebut ngelakoni. Pada akhir puasa, ia mengaku mendapat isyarat
kultural “Soeharto jatuh, manakala omah tawon sekembaran dirubung laron
sak pirang-pirang” (sepasang sarang tawon dikerumuni kelekatu dalam
jumlah sangat banyak).
“Bukan maksud saya mengabaikan peran mahasiswa. Saya hanya mendukung
gerakan itu dengan laku kultural. Itu maksud saya”. Memang, sehari
setelah banjir massa yang jumlahnya sering disebut lebih dari sejuta
manusia di Alun-alun Utara Jogjakarta—mengikuti Aksi Reformasi Damai
dengan mengerumuni sepasang berigin berpagar (ringin kurung)—Soeharto
pun lengser.
Sri Sultan HB X dengan Keraton Jogjakarta-nya memang fenomenal.
Kedekatannya dengan rakyat, dan karena itu juga kepercayaan rakyat
terhadapnya, telah menjadi ciri khas yang mewarisi hingga kini. Lihat
saja, misalnya, pada 20 Mei 1998, di bawah reksa Sultan, aparat keamanan
berani melepas mahasiswa ke alun-alun utara. Sebelum itu hampir setiap
hari mahasiswa bersitegang melawan aparat keamanan untuk keluar dari
kampus.
Di pagi hari yang cerah di hari peringatan Kebangkitan Nasional 1998
itu, mahasiswa berbaris dengan amat tertib menyuarakan “mantra” sakti
reformasi menuju Alun-alun Utara. Mereka pergi untuk mendengarkan
maklumat yang akan dibacakan sebagai semacam pernyataan politik Sri
Sultan.
Di era reformasi, bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais, Sultan
Hamengku Buwono X menjadi tokoh yang selalu diperhitungkan. Legitimasi
mereka berempat sebagai tokoh-tokoh yang dipercaya rakyat bahkan
melebihi legitimasi yang dimiliki lembaga formal seperti DPR. Mereka
berempat adalah deklarator Ciganjur, yang lahir justru ketika MPR sedang
melakukan bersidang. Mereka berempat, plus Nurcholis Madjid dan
beberapa tokoh nasional lain, diundang Pangab Jenderal TNI Wiranto untuk
ikut mengupayakan keselamatan bangsa, setelah pristiwa kerusuhan di
Ambon.
Namun, selang beberapa tahun kemudian, keempat tokoh Ciganjur itu
“pecah” dan tampak berjalan sendiri-sendiri. Bahkan salah satu di
antaranya saling hujat-menghujat. Kondisi ini sempat menimbulkan gejolak
politik di tanah air. Sri Sultan Hamengku Buwono X yang dikenal
“netral” di antara berbagai kepentingan partai politik dan pemerintah,
akhirnya mempertemukan tokoh-tokoh Ciganjur itu, plus Akbar Tanjung,
pada 1 Agustus 2000 di Keraton Jogjakarta.
Menghadapi gejolak reformasi, Sultan memang menyikapinya tidak hanya
dengan pemikiran, pendirian, dan tindakan politik, tetapi juga dengan
laku kultural. “Bukan maksud saya mengabaikan peran mahasiswa. Saya
hanya mendukung gerakan itu (reformasi) dengan laku kultural”, katanya.
Laku kultural perlu untuk melengkapi pertimbangan dan tindakan rasional.
Dengan laku kultural, bukan hanya pikiran tapi hati akan ditajamkan,
sehingga hati itu bisa mengajari kita untuk menangkap sasmita (gegulang
sasmitarja), dan memberitahu kita, bahwa budi kita juga mengandung
pekerja kewaspadaan (jero budi ana surti), agar kita hidup berhati-hati.
Justru di situlah sumbangan Sri Sultan secara khas pada reformasi.
Dengan pandangan kulturalnya, ia dibantu untuk melihat bahwa reformasi
bukan sekadar memperjuangkan kebebasan untuk bisa sebebas-bebasnya,
tetapi mentautkan kebebasan itu dengan kehati-hatian dan kewaspadaan,
agar masyarakat yang ada juga berkat ikatan-ikatan kultural-tradisional
tidak begitu saja diporakporandakan.
Sejak terpilih sebagai Gubernur DIY pada 3 Oktober 1998, Sri Sultan
memang dikenal sebagai sosok yang “netral” di antara berbagai
kepentingan partai politk dan pemerintah. Karenaya, Sultan banyak
diundang dalam seminar-seminar untuk membeberkan wawasan kebangsaannya.
Dalam suatu kesempatan, Sultan pernah mengatakan, wawasan kebangsaan
masa depan seharusnya merupakan pandangan proaktif untuk membangun
bangsa menuju perwujudan cita-cita bersama sebagai suatu bangsa yang
mandiri dan mampu mengembangkan inovasi iptek bangsa sendiri, agar
memiliki keungulan daya saing yang tangguh di percarutan global. “Itulah
sebagian wawasan kebangsaan beserta nilai-nilai kebangsaan yang
ditemukan dan pantas dikembangkan di dalam Gerakan Mahasiswa sebagai
pengikat semangat kebersamaan ke depan”, katanya.
Namun, pemahaman tentang kebangsaan itu memang banyak hal yang perlu
dipertanyakan: apakah suatu kebijakan dan program dapat dikatakan
berwawasan kebangsaan atau tidak; Atau apakah setiap kelompok masyarakat
dan organisasi, berikut partai-partai baru, telah berwawasan kebangsaan
atau tidak. Dengan penghayatan paham kebangsaan yang seperti itu,
menurutnya, kita dapat mendukung penataan organisasi-organisasi sosial
politk, yang terbuka dan bersifat inklusif bagi seluruh warga negara.
Karena itu, Sultan menyarankan, untuk memantapkan rasa kebangsaan pada
seluruh bangsa haruslah menyentuh rasa keadilan, agar dapat terbentuk
rasa kebersamaan yang bulat. Dalam rangka itu, aktualisasinya adalah
bahwa berbagai kesenjangan harus dipersempit, bahkan sedapat mungkin
ditiadakan. “Kita melihat ada beberapa macam kesenjangan; kesenjangan
antardaerah, antarsektor dan antargolongan ekonomi, termasuk di dalamnya
kesenjangan dalam kesempatan berusaha”, tuturnya.
Dalam memasuki abad ke-21 di Era Globalisais yang ditandai oleh
kompetensi antarbangsa yang semakin ketat ini, agar kita mampu bertahan,
maka kesadaran terhadap wawasan kebangsaan dengan jiwa-semangat dan
muatan roh baru yang lebih sesuai dengan tantangan zaman harus kita
kembangkan serta tetap menjadi tekad dan komitmen total seluruh rakyat
dan bangsa.
Menurut Sultan, wawasan dan rasa kebangsaan yang melahirkan nasionalisme
baru sebagai agenda juang bangsa Indonesia bukan lagi diikrarkan dengan
sumpah mati atau melulu hanya berunjuk rasa. Akan tetapi, jiwa-semangat
nasionalisme baru masa kini adalah bagaimana kita dapat mengejar
ketertinggalan di bidang iptek serta memberikan makna dan manfaatnya
bagi kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.
Disatu sisi kita harus meningkatkan kemampuan kualitatif dalam semua
aspek kehidupan, dan disisi lain, mempertahankan jati-diri dan
mengangkat harkat serta martabat kemanusiaan Indonesia dalam pergaulan
dunia. “Untuk itu, agenda juang Nasionalisme Baru Bangsa Indonesia
haruslah arif dan cerdas dalam menangkap peluang serta memanfaatkan
momentum transformasi global dan reformasi nasional dengan mengkaitkan
dimensi iptek, politik, ekonomi dan budaya satu sama lain dalam padanan
yang seimbang”, ujarnya.
Budaya Kuasa
Secara verbal, masyarakat Indonesia dididik untuk bersikap kesatria,
mengakui salah jika memang bersalah. Tetapi, ketika pembantu-pembantu
presiden yang jelas-jelas bersalah dan kesalahan itu telah diketahui
publik, ternyata tidak satu pun di antara mereka yang dengan rendah hati
berani mengakuinya serta meminta maaf. Apalagi mengundurkan diri dengan
sukarela sebagai rasa tanggung jawab moral kepada publik. Sultan
Hamengku Buwono (HB) X, mengemukakan hal itu dalam pidato kebudayaan
untuk memperingati 34 tahun Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki
(PKJ-TIM) di PKJ-TIM, Selasa (5/11/02).
Bahkan, para pembantu presiden yang salah itu, pada kenyataannya
dilindungi. Tidak jarang mereka justru malah balik menantang publik
dengan berkata, 'Silakan buktikan kalau saya bersalah'. Ini semua justru
menunjukkan, bukan nilai tepa sarira (tenggang rasa yang mereka anut,
tetapi lebih menonjolkan sikap nanding sarira (membanding-bandingkan),
berbasis egoisme sapa sira sapa ingsun (siapa kamu, siapa saya), serta
menunjukkan sikap budaya kuasa," kata HB X yang juga Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dalam kaitan itu, HB X dalam pidato bertajuk "Meluruskan Kembali Makna
Nilai-nilai Budaya Jawa" menegaskan bahwa kenyataan semacam itu telah
menjadikan tidak tumbuhnya budaya mundur di kalangan pejabat Indonesia.
Padahal, mereka nyata-nyata secara etis bersalah dan kesalahannya juga
sudah menjadi rahasia umum.
Kenyataan tersebut pada gilirannya akan semakin melumpuhkan kekuatan dan
supremasi hukum. "Sangat terasa, tata krama politik kita lebih bersifat
hierarkis-struktural ketimbang kultural. Semangat tepa sarira malahan
disalahartikan untuk juga tepa sarira terhadap pejabat yang melakukan
penyelewengan."
Mengatur kultur
HB X yang pada kesempatan itu menyatakan dirinya tampil sebagai seorang
budayawan dari Keraton Yogyakarta, kemudian mengutip sebuah teori yang
mengatakan, siapa menguasai struktur ia mengatur kultur.
Oleh karena itu, HB X mengingatkan, "Selama ini kita telah tercebur ke
dalam lumpur konformisme budaya melalui eksploitasi simbol-simbol budaya
Jawa yang salah kaprah. Ini semua membawa akibat terjadinya monopoli
kebenaran. Apa yang sudah kaprah atau terbiasa, tafsir yang 'salah' pun
menjadi lazim dan tanpa sadar justru dibenarkan. Maka, jadilah budaya
Jawa yang salah kaprah itu menyelinap ke segenap kehidupan bangsa."
Ajaran Jawa mikul dhuwur mendhem jero, misalnya, makna sesungguhnya
adalah menghormati leluhur, terlebih kepada orangtua yang telah
meninggal dengan cara tidak mengungkit kesalahan, namun mengingat
kebaikan. "(Sekarang-Red) Mikul dhuwur mendhem jero jadi salah kaprah,
dikenakan bagi orang yang masih hidup, khususnya pemimpin. Kalaupun dia
melakukan tindak penyelewengan, hendaknya dimaafkan dan dilupakan,"
katanya.
HB X juga mengatakan, dalam peta politik nasional, alam pikiran Jawa
pernah dominan. Kebudayaan Jawa menjadi pola bagi seluruh rangkaian
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dominasi itu misalnya terlihat dalam
kosa kata bahasa Jawa. Menyitir pendapat budayawan Franz Magnis-Suseno,
HB X mengatakan, pengaruh jawanisasi begitu kuat hingga menimbulkan
"Jawanisasi tata krama komunikasi nasional."
Ia menambahkan, pembangunan yang mengenyampingkan dimensi kebudayaan
akan membawa masyarakat pada tiga kesalahpahaman umum, yakni tidak
mengetahui, salah asumsi, dan salah penerapan. Sebagai akibat tidak
mengetahui secara tepat pemaknaannya, pembangunan menjadi tidak tepat
sasaran, bahkan cenderung terbalik.
Di sisi lain, HB X melihat, pada masa Orde Baru ada sebuah fenomena
menarik, karena secara bersamaan juga bisa disaksikan kultur masyarakat
tidak sepenuhnya berada dalam cengkeraman struktur kekuasaan. "Terdapat
benih-benih reformasi dalam bentuk perlawanan budaya, oleh karena budaya
juga merupakan kekuatan sejarah," katanya.
Perlawanan semacam itu muncul dari sebagian budayawan, seniman, dan
ulama yang menitikberatkan pada dimensi kultural-spiritual. Seiring
dengan ini, juga muncul perlawanan intelektual-realistik dari segolongan
cendekiawan dan mahasiswa yang ditunjukkan pada pembenahan aspek
struktural. Gerakan-gerakan tersebut di permukaan merupakan gerakan
kultural-spiritual, tetapi jangkauannya adalah gerakan sosial. Mengutip
pendapat Dr Kuntowijoyo, HB X menyebutkan, "Mereka berangkat dari
perubahan cara berpikir, tetapi tujuannya ialah perubahan perilaku...."
Perlu "counter culture"
Agenda yang sekarang ini sangat mendesak adalah perlunya untuk membentuk
counter culture, yang mirip renaisans budaya-kebangunan kembali
kebudayaan. Gerakannya berupa pemurnian makna terhadap idiom-idiom
budaya Jawa yang selama ini telah cenderung dimanipulasi-tafsirkan, dan
telah melekat menjadi wacana politik dan budaya politik.
HB X mengakui, generasi yang lahir di zaman informasi pasti kurang
mengenal kitab-kitab kuno, semisal Babad Tanah Jawi, Wulangreh, dan
Wedhatama. "Jujur saja, banyak di antara kita yang juga kurang paham
tentang apa yang dimaksud dengan lengser keprabon madeg pandhita serta
idiom-idiom dengan sederet manipulasi makna, atau setidaknya
interpretasi subyektif terhadap simbol-simbol budaya Jawa yang selama
ini telah meresap menjadi semacam budaya politik bangsa."
Proses tersebut telah berlangsung lama dan terkait langsung dengan
sistem kekuasaan yang sentralistik di Jawa sehingga persoalan birokrasi
dan kebijakan pemerintahan daerah selalu diproses di pusat. Akibatnya,
pendistribusian pegawai atau pejabat ke daerah, terutama pada
bidang-bidang strategis, lebih banyak ditempati orang-orang Jakarta.
Atas dasar itu, kata HB X, untuk masa mendatang, menghargai dan
memperhatikan pluralisme budaya yang kita miliki serta membangkitkan
kembali identitas lokal merupakan keharusan strategis untuk kesatuan
nasional Indonesia, terutama di era otonomai daerah.
Gelar Sasangko Minangkabau
Sultan Hamengku Buwono X dan Ratu Hemas dari Ngayogyakarta Hadinigrat,
resmi menjadi mamak orang Minang. Dalam suatu Sidang Majelis Adat di
Istano Pagaruyuang, Batusangkar, Kabupaten Tanahdatar, Senin (29/4),
mereka dianugerahi gelar kehormatan Sangsako Adat Minangkabau dari
pewaris kerajaan Pagaruyuang, yang ditandai dengan pemasangan destar dan
keris kepada Sultan dan pemasangan takuluak bapalak dan selendang tanah
liek kepada Ratu Hemas.
Sultan bergelar Yang Dipatuan Maharajo Alam Sati (atau dalam bahasa
Indonesia Yang Dipertuan Maharaja Alam Sakti) dan Ratu Hemas bergelar
Puan Gadih Puti Reno Indaswari (Puan Gadis Putri Reno Inderaswari). Ia
disebut seorang sultan yang rendah hati, pengayom bagi masyarakat secara
keseluruhan dan masyarakat Minang khususnya.
Ketua Umum Kerapatan Adat Alam Minangkabau H Kamardi Rais Datuk P
Simulie dalam sambutannya mengatakan, pengangkatan Sultan Hamengku
Buwono Yang Dipatuan Maharajo Alam Sati sebagai mamak orang Minang di
Yogyakarta, karena antara Yogyakarta dan Bukittinggi (Sumatera Barat)
terdapat persamaan sejarah, mengambil peran yang sama sebagai ibu kota
negara Indonesia dalam keadaan darurat.
"Ketika Belanda melakukan serangan besar-besaran terhadap Maguwo, pada
waktu subuh 19 Desember 1948 dan kemudian Yogya diduduki, maka pada saat
yang genting itu Bukittinggi tampil menggantikan peranan Yogyakarta,"
katanya.
Kemudian, ketika terbentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS), 14
Desember 1949, maka Yogyakarta dan Sumatera Barat sama-sama berteguh
hati tetap berada dalam Republik Indonesia, ditambah dengan daerah
Tapanuli dan Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar